Minggu, 20 April 2014

JANGAN NGAKU PECINTA FILM KALAU NGGAK KENAL CLC


Kerabat Muda, akrab khan dengan nama CLC "Cinema Lovers Community" ? Dari namanya saja, kita semua sepakat menyebut komunitas ini untuk para pecinta film. Lalu apakah maksudnya untuk para penggemar film layar lebar komersial ? Atau justru bukan sama sekali ? 



Words by : Anita Pithaloka

CLC apakah ini sebuah komunitas bagi anak-anak muda yang hoby nongkrong bareng di bioskop nonton film-film komersial ? Untuk lebih jelasnya langsung saja kita simak penjelasan dari Nanki Nirmanto, Manager CLC Purbalingga berikut ini : “CLC terbentuk di tahun 2006, awalnya ada sekelompok anak muda yang basicnya itu viceo manten yang kemudian membuat komunitas yang istilahnya memfasilitasi temen-temen muda di Purbaingga yang pengen berkreasi di film.”

 Nanki Nirmanto

Ya, banyak maksud dari istilah cinema lovers dalam CLC. Bisa jadi ini untuk menyebutkan orang-orang yang hoby nonton film atau bisa juga untuk para pembuat filmnya itu sendiri. Hal ini bukan masalah karena pada dasarnya CLC pun memiliki lima program kerja yang mencakup semua itu. “ Di CLC ada program2 besar seperti : database film, pemutaran film, festival film, produksi film dan workshop film. Artinya untuk yang pengen bikin film, CLC bisa memfasilitasi dengan workshop film. Sedang bagi yang seneng nonton film CLC ada database film yang berisi film-film lokal Purbalingga, nasional bahkan sampai luar negeri yang jumlahnya sampai ribuan. Kalau pengen nonton film-film alternative pun bias nonton bioskop rakyat sejak 2007 (awalnya bernama bioskop kita) yang rutin setiap bulan. Jadi CLC tidak hanya terpaku pada teman-teman yang penegn bikin film semata”, tambah Nanki

Seperti kita ketahui bersama, Purbalingga adalah salah satu surga bagi film pendek nasional. Sineas-sineas lokal bermunculan bahkan bertarung di kancah persaingan nasional. Dan semua ini bermula dari pemikiran yang tak pernah habis dari sang kreator, Bowo Leksono. 

Anak muda inilah yang kemudian mengenalkan media film pendek pada generasi muda Purbalingga saat ini. Hingga film bukan lagi menjadi barang baru bahkan bagi anak SMP sekalipun. Lalu apa yang mendasari Bowo Leksono “nekat” mengenalkan barang baru bernama film pada anak-anak muda Purbalingga saat itu ? “Film kan ada karena perkembangan teknologi juga ya. Saya mempelajarinya ketika di kota. Namun kemudian terpikir untuk membawa pulang ilmu ini dari Jakarta. Sepertinya tepat film ini untuk di bawa dan dipelajari di Purbalingga. Kenapa memutuskan pulang ? Karena sebelumnya teater kan sempat mati, kalau tetap nekat berteater di Jakarta ya akan habis. Kebetulan teknologi digital sedang mulai berkembang dan ini mempengaruhi munculnya kelompok-kelompok pembuat film pendek di kota. Yang dulu orang mau bikin film itu mahal, namun dengan adanya teknologi digital segala sesuatunya jadi lebih mudah dan murah. Budaya itu saya bawa dari kota ke daerah sebagai media baru berekspresi.”, terang pria yang akrab disapa Bolek ini.

“Sebenarnya namanya film alternative tapi teman-teman banyak menyebutnya sebagai film pendek. Karena durasinya pendek. Namun tidak berarti dengan ide yang pendek, pemikiran yang pendek, kreasi yang pendek. Nggak ya,..”, tambahnya

Ya, film pendek adalah salah satu karya yang kerap diproduksi sineas Purbalingga. Menurut Wikipedia Film pendek ialah salah satu bentuk film paling simple dan paling kompleks. Di awal perkembangannya film pendek sempat dipopulerkan oleh comedian Charlie Chaplin. Secara teknis film pendek merupakan film yang memiliki durasi dibawah 50 menit. Mengenai cara bertuturnya, film pendek memberikan kebebasan bagi para pembuat dan pemirsanya, sehingga bentuknya menjadi sangat bervariasi. Film pendek dapat saja hanya berdurasi 60 detik, yang penting ide dan pemanfaatan media komunikasinya dapat berlangsung efektif. Yang menjadi menarik justru ketika variasi-variasi tersebut menciptakan cara pandang-cara pandang baru tentang bentuk film secara umum, dan kemudian berhasil memberikan banyak sekali kontribusi bagi perkembangan sinema. Pada hakikatnya film pendek bukan merupakan reduksi dari film dengan cerita panjang, atau sebagai wahana pelatihan bagi pemula yang baru masuk kedunia perfilman. Film pendek memiliki ciri/karakteristik sendiri yang membuatnya berbeda dengan film cerita panjang, bukan karena sempit dalam pemaknaan atau pembuatannya lebih mudah serta anggaran yang minim. Tapi karena film pendek memberikan ruang gerak ekspresi yang lebih leluasa untuk para pemainnya.


Di Indonesia film pendek sampai sekarang masih menjadi sosok yang termarjinalkan dari sudut pandang pemirsa. Film pendek Indonesia mulai muncul di kalangan pembuat film Indonesia sejak munculnya pendidikan sinematografi di IKJ. Perhatian para film-enthusiasts di era tahun 70-an bisa dikatakan cukup baik dalam membangun atmosfer positif bagi perkembangan film pendek di Jakarta. Secara garis besar, keadaan film pendek di Indonesia memang dapat dikatakan ironis. Karena film pendek Indonesia hampir tidak pernah tersampaikan ke pemirsa lokal-nya secara luas karena miskinnya ajang-ajang eksibisi dalam negeri. Tetapi di sisi lain, di dunia internasional film pendek Indonesia cukup mampu berbicara dan eksis. Dari sejak karya-karya Slamet Rahardjo, Gotot Prakosa, Nan T. Achnas, Garin Nugroho, sampai ke generasi Riri Riza dan Nanang Istiabudi. Kini, dengan bermunculannya para sineas muda di Purbalingga, mungkin kita bisa menyebut film pendek telah berada dalam zona nyaman, tapi bagaimana pada awal perkembangannya dulu ? “Karena di Purbaingga gada kampus, kita keliling sekolah sekolah di tahun 2004, diskusi yaa, istilahnya cari penonton, cari massa . Dan anak-anak yang tertarik, kita ajari untuk bikin film. Di tahun itu kita dah bikin sekitar 10 proposal ke sekolah-sekolah untuk menjadikan film sebagai ekskul namun di tolak semua. Baru 2-3 tahun kemudian beberap asekolah mulai sadar bahwa film tepat sebagai media pembelajaran.”, kenang Bowo

Kurangnya media berkreasi membuat film pendek menjadi pilihan beberapa anak muda di Purbalingga. Meski awalnya masih didominasi pelaku seni teater dan drama, namun lambat laun film pendek justru berkembang menjadi sebuah ekstrakulikuler di beberapa sekolah.

Seiring bertambahnya generasi muda pembuat film, penikmat film, pengkritisi film ataupun yang baru tertarik terhadap film pendek, apakah hal ini juga mempengaruhi keanggotaan dalam Cinema Lovers Community ? “Secara keanggotan CLC sanagt terbuka, tidak berusaha mengikat. Siapapun orangnya, umurnya, aklau penegn main ke CLC ya main aja tanpa perlu menjadi anggota CLC. Namun ada beberapa orang yang memang memutuskan berkomitmen dengan CLC menjadi pengurus harian CLC. Kalau secara komunitas justru anak-anak SMA yang mendominasi di film pendek ini”, jawab Nanki

Sangat sangat tidak mengikat, seperti itulah gambaran keanggotan komunitas ini. CLC mungkin lebih tepat jika disebut sebagai “pendamping” dari setiap perkembangan film produksi local Purbalingga. Nah, selain identik dengan karya-karya fenomenalnya, CLC pun sangat lekat dengan Festival Film Purbalingga. Perayaan seperti apakah ini?

Jika kita bicara CLC, maka kitapun akan membicarakan Festival Film Purbalingga. Sebuah perayaan, sebuah pesta yang rutin digelar setiap bulan Mei. Dan bagaimana awalnya Festival ini digelar ? “Awalnya kita hanya terpikir membuat event yang bisa memutar semua film yang sudah diproduksi anak-anak SMA di Pbg. Wacana awal memang hanya memutar semua film yang sudah dibuat oleh anak-anak yang difasilitasi CLC. Namun kemudian jadi ada kompetisi untuk pelajar se Banyumas raya.”, kata Nanki

Pada tanggal 7 Juli 2007, pertama kali festival film digelar dengan nama Parade Film Purbalingga (PFP). Festival ini bertema “Satu Tahun Kita Bersedih”. Parade memutar 30 karya film pendek Purbalingga dari sekitar 20 komunitas film yang bernaung dibawah CLC selama sehari penuh. Namun ide kreatif ini tak selamanya disambut dengan tangan terbuka. CLC sempat kehilangan ruang usai kejadian tak mengenakan yang mereka tuangkan dalam film documenter Bioskop Kita Sedang Sedih. Tapi hal ini tidak pernah mematahkan semangat mereka. Sejak berganti nama menjadi Festival Film Purbalingga pada 2010, perayaan ini terus menuai sukses.

Hingga saat ini, CLC mengkhususkan diri pada kerja-kerja kreatif, yaitu: Workshop Film, Produksi Film, Pemutaran Film, Database Film dan Festival Film. Dan sudah lebih dari 100-an judul film lahir sejak tahun 2004. Dari sekian banyak film, beberapa judul memang sanggup menarik perhatian publik. 

Sebut saja ”PERONIKA” yang menjadi awal film pendek khas berbudaya Banyumasan yang sangat tidak terlupa, film ”PIGURA” yang menyabet penghargaan di FFI bahkan sampai yang masih fresh kita dengar film dokumenter ”BANJARAN MENOLAK SAMPAH”. Lalu bagaimana persiapan jelang FFP 2014 ? ”Sejak 2011 kita ada program unggian layar tancep, jadi festival yang dulunya dari 2007 hanya sehari semalem, 2008 & 2009 sekitar 4 hari, nah dari 2011 itu kita sudah mulai full satu bulan se Banyumas Raya. Dan untuk tahun 2014 ini kita masih dalam tahap pendataan untuk lokasi layar tancepnya sendiri. Sedangkan untuk kompetisinya untuk pelajar SMA (genre fiksi dan dokumneter) dan SMP (genre fiksi). Biasanya rata-rata yang lolos untuk tiap kategori hanya 5 – 6 film saja.” tambah Nanki

 

Ketika berbicara film, kita yang hidup di jaman serba modern memang dipermudah dengan nonton film di sofa empuk nan hangat di rumah sendiri. Namun hal yang tidak boleh kita lupakan adalah bahwa jaman dahulu untuk nonton film, masyarakat harus berami-ramai datang ke sebuah areal terbuka hanya demi layar tanjleb. Nah, meski sudah serba digital, CLC tidak ingin membuat masyarakat lupa akan kebiasaan tersebut. Program layar tanjleb pun menjadi unggulan pada setiap Festival Film Purbalingga. ”Yang unik adalah kenapa layar tancep selalu di tempatkan di lokasi di luar kota. Bukan bermaksud untuk menyusahkan teman-teman yang ada di kota, namun kami berusah amenarik teman-teman yang ada di kota untuk mengetahui ring terluar purbalingga agar mereka tahu ini lho wilayah Purbalingga juga”, ungkapnya

Selain menggagas dan menyelenggarakan CLC, pengurus hariannya yang juga didominasi para sineas pun tetap memproduksi film sendiri. Jika mereka mengawali sejarah perjalanan film pendek di Purbalingga dengan sebuah film fiksi berjudul Orang Buta Dan Penuntunnya, kini mereka pun memiliki agenda produksi tahunan.  ”targetnya setiap tahun adalah satu film panjang. Dari 2006 CLC sempat tidak fokus ke produksi namun lebih ke fasilitasi. Baru dari 2009, muncul wacana jika CLC juga jangan sampai tidak berproduksi. Ada satu program kado buat kota tercinta yang menjadi produksi tahunan kita. Ini berupa dokumenter yang sarat kritik”

Hmmm, bagi mereka yang sudah ahli membuat film tahunan bisa jadi snagat mudah. Lalu bagaimana jika kita adalah pemula. Apa yang perlu kita perhatikan untuk membuat sebuah film ? Tanya Nanki yuk. ”Pertama ketika seseorang mau bikin film paling tidak harus pernah nonton film dulu ya. Jadi akan lucu ketika mau bikin film kok belum pernah nonton film yang bagus. Paling tidka perlu refernsi dulu film seperti apa yang ingin dibuat. Secara kuantitas si film fiksi paling melibatkan banayk orang, sedang kalau dokumenter satu orang sudah bisa bikin. Tapi untuk pemula kita sarankan fiksi saja karena kalau dkumenter ketika mereka menyalahgunakan data akan menjadi dokumenter yang difisikan. Akan repot jadinya”, jelasnya

Untuk membuat film yang baik maka disarankan untuk banyak menonton film sebagai referensi. Saran yang perlu kita coba. Nah, kini melihat sineas lokal Purbalingga yang terus bermunculan, apa harapan CLC khususnya dengan adanya Festival Film Purbalingga ini ? ”Kita berharap festival itu jadi sbeuah event yang dirindukan masy Pbg khususnya, jadi ketika Mei orang sudah siap menyambut. Seperti halnya kata FESTIVE yang berarti perayaan, kami berharap FFP adalah festival miliknya orang-orang Pbg bukan hanya milik CLC saja. Dan lebih dirindukan masyrakat Purbalingga tentunya pada setiap Bulan Mei”, ucap Nanki

Lebih dirindukan masyarakat Purbalingga itu sendiri. Harapan yang simple tapi perlu perjuangan extra untuk membuat seseorang lebih menghargai karya masyarakatnya sendiri.

”Jadi yang penasaran dengan film bisa ke markas aja. CLC sekarang masih no maden sih, tergantung budget dan dapat kontaraknnya dimana. Hahaha, namun sementara kami bermarkas di jalan Puring no 7 Purbalingga, belakang LP. Blognya festivalfilmpurbalingga.blogspot.com, atau di FB groupnya Purbalingga Film Festival. Semua info lengkap disana.”, pungkasnya

(ditulis oleh Anita Pithaloka)